Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh menakjubkan
perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik
baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya
pada orang mu’min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur,
karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik
untuknya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR.
Muslim)
Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad sebagaimana di atas,
melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Suhaib dari
Rasulullah SAW, diriwayatkan oleh :
- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-Raqa’iq, Bab
Al-Mu’min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no 2999.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam Musnadnya, yaitu hadits
no 18455, 18360, 23406 & 23412.
- Diriwayatkan juga oleh Imam al-Darimi, dalam Sunannya, Kitab Al-Riqaq,
Bab Al-Mu’min Yu’jaru Fi Kulli Syai’, hadits no 2777.
Makna Hadits Secara Umum
Hadits singkat ini memiliki makna yang luas sekaligus memberikan
definisi mengenai sifat dan karakter orang yang beriman. Setiap orang
yang beriman digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang memiliki
pesona, yang digambarkan dengan istilah ‘ajaban’ ( عجبا ). Karena sifat
dan karakter ini akan mempesona siapa saja.
Kemudian Rasulullah SAW menggambarkan bahwa pesona tersebut berpangkal
dari adanya positif thinking setiap mu’min. Dimana ia memandang segala
persoalannya dari sudut pandang positif, dan bukan dari sudut
nagatifnya.
Sebagai contoh, ketika ia mendapatkan kebaikan, kebahagian, rasa
bahagia, kesenangan dan lain sebagainya, ia akan refleksikan dalam
bentuk penysukuran terhadap Allah SWT. Karena ia tahu dan faham bahwa
hal tersebut merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada dirinya. Dan
tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya melainkan pasti sesuatu
tersebut adalah positif baginya.
Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah, bencana, rasa duka,
sedih, kemalangan dan hal-hal negatif lainnya, ia akan bersabar. Karena
ia meyakini bahwa hal tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi
dirinya yang pasti memiliki rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga
refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan semuanya kepada
Allah SWT.
Urgensi Kesabaran
Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa kepada
Allah SWT. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran merupakan
setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin
dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah
seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai
kesabaran, sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala.
Oleh karena itulah Rasulullah SAW menggambarkan tentang ciri dan
keutamaan orang yang beriman sebagaimana hadits di atas.
Namun kesabaran adalah bukan semata-mata memiliki pengertian “nrimo”,
ketidak mampuan dan identik dengan ketertindasan. Sabar sesungguhnya
memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat
dalam jiwa insan. Dalam berjihad, sabar diimplementasikan dengan melawan
hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya duduk dengan santai dan
tenang di rumah. Justru ketika ia berdiam diri itulah, sesungguhnya ia
belum dapat bersabar melawan tantangan dan memenuhi panggilan ilahi.
Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah kondisi, baik yang
bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar lebih baik dan
baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat diakatakan tidak sabar, jika
ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar dalam
ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan memaksa diri untuk
bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan menuju masjid
dan malaksanakan shalat secara berjamaah. Sehingga sabar tidak tepat
jika hanya diartikan dengan sebuah sifat pasif, namun ia memiliki nilai
keseimbangan antara sifat aktif dengan sifat pasif.
Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’an
Aspek
kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami
oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa sabar
itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban
dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang
kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat
naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non
fisik) beraneka macam;
- Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
- Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
- Jika
sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu,
kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)
- Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut)
- Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur (emosional)
- Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia)
- Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)
Kebanyakan
akhlak keimanan masuk ke dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah
saw ditanya tentang iman, beliau menjawab: Iman aadalah sabar. Sebab
kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling
penting. “Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan
dalam peperangan mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Dari
itu kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah sabar
sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk
mendapatkan sambutan para malaikat. Dalam surat Al-Insan [72]: 12 “Dan
Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan
(pakaian) sutera”. Dalam surat Ar-Ra’d [13]:23-24 “...Dan para malaikat
masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil
mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka
alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Sabar, Suatu Kekhasan Manusia
Sabar
adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang
sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor
kesempurnaannya.
Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena
itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga
tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya,
sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.
Sebaliknya,
malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada
kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan
“kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang
tidak sesuai dengan kesucian tersebut.
Tetapi manusia adalah makhluk
yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang
berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah
“kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya.
Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk.
Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut
dorongan syahwat.
Pentingnya Kesabaran Bagi Orang Beriman.
Sudah
menjadi sunnatulah bahwa kaum muslimin harus berhadapan dengan para
musuhnya yang jahat yang membuat makar dan tipu daya. Seperti Allah
menciptakan Iblis untuk Adam; Namrud untuk Ibrahim; Fir’aun untuk Musa
dan Abu Jahal untuk Muhammad saw.
Dalam Surat al-Ankabut [29]]: 1-3
“Ali Laam Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji lagi? Dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
dia mengetahui orang-orang yang dusta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar